- Home
- Blog
Rekap histori dasar hukum terkait sumbangan
Undang-Undang
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 (Beberapa kali diubah)
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (Beberapa kali diubah)
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 (Beberapa kali diubah)
- Undang-Undang Nomro 17 Tahun 2000 (Beberapa kali diubah)
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Beberapa kali diubah)
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (Beberapa kali diubah)
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (Berlaku)
Peraturan Pemerintah
- Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 (Diganti/dicabut)
- Peraturan Pemerintah Nomer 93 Tahun 2010 (Berlaku)
- Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (Berlaku)
Peraturan Menteri Keuangan
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 (Berlaku)
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2020 (Berlaku)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 (Diganti/Dicabut)
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2017 (Diganti/Dicabut)
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2018 (Diganti/Dicabut)
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2019 (Diganti/Dicabut)
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2020 (Diganti/Dicabut)
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2021 (Diganti/Dicabut)
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2022 (Diubah)
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2022 (Diubah)
- Peraturan Diraktur Jenderal Pajak Nomor PER-3/PJ/2023 (Berlaku)
Apa konsekuensi peredaran bruto diatas 4,8 milyar setahun tapi tidak melapor untuk dikukuhkan menjadi PKP
Apa konsekuensi peredaran bruto (omset) diatas 4,8 milyar setahun tapi perusahaan tidak mau melapor untuk dikukuhkan menjadi PKP?
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Berdasarkan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
Artinya, Hal tersebut diatas dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Karena perusahaan sudah memiliki peredaran bruto lebih dari 4,8 milyar dalam setahun maka wajib melapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, jika tidak melapor maka DJP akan mengukuhkan PKP secara jabatan sejak orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Berdasarkan pasal 2 ayat (4a), Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Misalnya perusahaan pada bulan agustus 2022 memiliki omset 4,8 milyar dan tercatat dalam laporan keuangan 2022 omset sampai dengan 31 desember 2022 adalah 10 milyar, namun omset 2023 turun drastis dan sampai dengan november 2023 omset baru mencapai 4,5 milyar sehingga perusahaan juga belum melapor untuk di kukuhkan sebagai PKP. Atas kondisi tersebut DJP dapat mengukuhkan sebagai PKP sejak bulan agustus 2022 karena telah memenuhi syarat untuk di kukuhkan sebagai PKP dan akan dihitung PPN yang seharusnya dipungut dan terhutang sejak agustus 2022 sampai dengan November 2023. Selain itu perusahaan juga akan mendapat sanksi bunga sebagaimana tertuang dalam pasal 13 ayat (2) UU KUP dan sanksi administrasi berupa denda bedasarkan pasal 14 ayat (4) UU KUP karena tidak menjalankan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.
Kesimpulan
Konsekuensi tidak melapor untuk dikukuhkan sebagai PKP:
- Dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan
- Dihitung PPN Terutang paling lama 5 tahun sebelum dikukuhkan sebagai PKP
- Sanksi bunga (Pasal 13 ayat (2) UU KUP)
- Sanksi administrasi berupa denda (Pasal 14 ayat (4) UU KUP)
Dasar Hukum:
- Undang-Undang KUP
- PMK 197/PMK.03/2013
Pajak atas komisi atau fee yang diterima oleh agen travel umroh
Komisi atau fee yang diterima oleh agen (orang pribadi dalam negeri) dari travel umroh merupakan objek pajak penghasilan Pasal 21. Umumnya sistem kerja agen yaitu memasarkan produk maupun jasa yang disediakan oleh pihak travel untuk menarik perhatian calon jamaah umroh. Jika agen berhasil membawa atau mendaftarkan jamaah umroh, maka pihak travel umroh akan memberikan komisi atau fee untuk agen. Atas transaksi pemberian komisi dari pihak travel umroh kepada agen orang pribadi tersebut merupakan objek PPh Pasal 21. Sehingga pihak travel umroh harus melakukan pemotongan pajak sebelum melakukan pembayaran kepada agen.
Berdasarkan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, “Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;”
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf e Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, “Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 … adalah imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;”
Dasar Pengenaan dan Pemotongan
Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf c Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut: 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;
Berdasarkan pasal 13, Penerima penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerima penghasilan Bukan Pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.
Tarif Pemotongan Pajak
Berdasarkan pasal 16, Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari:
ayat (1) Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
ayat (2) 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
Adapun tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak pasal 17 ayat (1) sebagaimana diubah terakhir adalah sebagai berikut:
- Tarif 5% sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
- Tarif 15% di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
- Tarif 25% di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
- Tarif 30% di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
- Tarif 35% di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Contoh Kasus:
Budi adalah seorang agen dari PT Travel Umroh sejak awal tahun 2023. Selama bulan januari - oktober 2023, budi sudah mendapatkan komisi/fee sebesar 20 juta rupiah. Pada bulan november 2023 berhasil mendaftarkan 5 jamaah umroh ke PT Travel Umroh. Setiap jamaah yang didaftarkan, PT Travel Umroh akan memberikan komisi/fee sebesar 1juta rupiah. Diketahui budi memiliki penghasilan lain selain dari PT Travel Umroh. Berapakah pajak yang harus dipotong oleh PT Travel Umroh atas penghasilan budi bulan november?
Jawab: Karena budi memiliki penghasilan lebih dari 1 pemberi kerja, maka dalam perhitungan pajak tidak memperoleh pengurang berupa PTKP.
Penghasilan = 5 juta (1juta x 5 jamaah)
DPP = 50% x 5 juta
Penghasilan kena pajak = 2,5 juta
Pajak yang harus dipotong PT Travel Umroh = 2,5 juta x 5% = 125 ribu
Dasar Hukum:
- UU Pajak Penghasilan
- PER-16/PJ/2016
Jika ingin memungut PPN apakah harus dikukuhkan menjadi PKP?
Pasal 2 ayat (2) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Penjelasan:
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Terdapat pengusaha kecil yang tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 TENTANG BATASAN PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d 197/PMK.03/2013, Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 s.t.d.t.d 197/PMK.03/2013, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) tidak berlaku apabila pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Artinya pengusaha kecil yang omsetnya dibawah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), dapat mengajukan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sehingga dengan menjadi pengusaha kena pajak, pengusaha kecil dapat memungut PPN.
...
Apakah Semua Orang Indonesia Harus Memiliki NPWP?
Pasal 2 ayat (1) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Penjelasan:
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU KUP Nomor 28 Tahun 2007, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak dalam negeri adalah:
- orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang:
- bertempat tinggal di Indonesia;
- berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
- dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak luar negeri adalah:
- orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
- warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
- Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
- tempat tinggal;
- pusat kegiatan utama;
- tempat menjalankan kebiasaan;
- status subjek pajak; dan/atau
- persyaratan tertentu lainnya
yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan; (Pasal 2 sampai Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021)
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1a) UU KUP Nomor 7 Tahun 2021, Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan.
Sehingga dengan demikian, setiap orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia yang sudah menerima atau memperoleh penghasilan WAJIB mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk diberi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Ketentuan lebih lanjut tentang pendaftaran NPWP dan penghapusan NPWP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 Tentang TATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK.
...Search
Categories
Tags
- Pajak Pesangon
- Pajak CV
- SP2DK
- Jasa Konstruksi
- Pajak Sewa Ruko
- Umroh
- Jasa laporan keuangan dan pajak
- Dividen
- Pajak Konser Musik
- Pajak sewa lapangan
- Koreksi fiskal
- Pajak lapangan olahraga
- Pusat Kebugaran
- Natura
- Pajak Masukan
- Denda atau Pinalti
- Royalti
- Jasa Pendirian PT
- Pajak Penceramah
- Pajak sewa kantor
- Pembukuan dan Pencatatan
- Kuasa Wajib Pajak
- Beasiswa
- Hadiah
- Software Akuntansi
- Pajak Sewa Kendaraan
- Barang dan Jasa Tidak Dikenai PPN
- Dibebaskan Dari PPN
- Batam
- NPWP
- Pengusaha Kena Pajak
- Sumbangan
- Pemeriksaan Pajak
- Reimbursement
- Biaya promosi
- Piutang Tak Tertagih
- Warisan
- Account Representative
- PPN
- Biaya perjalanan dinas
- Penyusutan dan Amortisasi
- Menolak Pemeriksaan
- Biaya entertainment
- Bunga Deposito
- Kewajiban Pemeriksa
- Imbalan Bunga
- Beban Pembuktian
- Kewajiban wajib pajak
- Kepabeanan
- Cacat Prosedur
- PKP
- Perekaman
- Cacat Prosedur Pemeriksaan
- bukti potong
- Perseroan Komanditer
- Pendaftaran PBB
- lapangan olahraga
- Bukan Objek PPN
- Gaji
- UMKM
- SPT Tahunan
- SPPT
- SKP PBB
- Pembagian Hasil PBB
- Redefinisi pajak