7 kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan lapangan

Dalam pasal 1 angka 25 UU KUP telah di definisikan bahwa pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) UU KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Pemeriksaan pajak dilaksanakan harus sesuai dengan tata cara pemeriksaan, standar pemeriksaan, dan pedoman pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE). Sehingga pemeriksa harus mengetahui kewenangan dan kewajibannya dalam pemeriksaan. Sementara itu wajib pajak juga harus mengetahui hak dan kewajibannya dalam pemeriksaan. 

Sebelumnya penulis telah menayangkan tulisan tentang 8 Hak Wajib Pajak dalam Pemeriksaan Pajak, pada kesempatan ini penulis akan menuliskan 7 kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan lapangan. 

Diatur dalam pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:

a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

b. memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;

c. memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;

d. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:

1) menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;

2) memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau

3) menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;

e. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan

f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Untuk memastikan terpenuhinya prosedur pemeriksaan, setiap kewenangan dan kewajiban pemeriksa harus di jalankan, begitu juga dengan hak dan kewajiban wajib pajak. Pemeriksa memiliki kewenangan namun tidak boleh sewenang-wenang, seluruh tindakannya dalam pemeriksaan harus di dasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib pajak dapat menuntut haknya, namun juga tidak boleh lupa untuk menjalankan kewajibannya dalam pemeriksaan. Semua pihak harus berjalan diatas aturan yang telah ditentukan sehingga bisa tercipta kepastian hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan. 

 

Dasar Hukum:

PMK 17/PMK.03/2013

PMK 18/PMK.03/2021

SE-23/PJ/2013

...

Beban Pembuktian Dalam Pemeriksaan Pajak

Bukti mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak. Tanpa adanya bukti, wajib pajak maupun pemeriksa pajak tidak bisa cukup mengambil tindakan hukum, jika dipaksakan tentu akan berpotensi menyalahi standar dan ketentuan dalam pembukuan/akuntansi maupun pemeriksaan pajak. 

Menurut Pasal 1 angka 25 UU KUP, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Timbul pertanyaan mendasar tentang bukti, siapa yang seharusnya membuktikan atau memberikan bukti dalam pemeriksaan pajak?

Sebelum masuk pada pokok jawabannya, penulis akan mencoba memaparkan beberapa pendapat dan dasar hukum yang relevan untuk dijadikan bahan berfikir bersama. Adapun persoalan setuju atau tidak, benar atau salah, itu dikembalikan kepada kesimpulan dari fikiran kita masing-masing.

Self Assessment System

Self assessment system merupakan salah satu sistem perpajakan di indonesia yang memiliki makna; wajib pajak diberikan ruang untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Dalam menghitung, membayar, dan melapor pajak tetap harus sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Sehingga berdasarkan sistem self assessment tersebut, perhitungan, pembayaran, dan laporan pajak dari wajib pajak dianggap benar. Kenapa dianggap benar? Karena itu dampak dari self assessment system, dan tentu wajib pajak menghitung, membayar, dan melapor pajak sesuai dengan kebenaran pengetahuannya. Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh Direktur Jenderal Pajak (DPJ)/Pemeriksa. DJP dapat menilai kebenaran laporan wajib pajak melalui pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dengan melakukan pemeriksaan sebagaimana di atur dalam pasal 29 ayat (1) UU KUP "Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak

Pemeriksaan diputuskan untuk dilakukan bukan tanpa proses ya, melainkan sudah melalui tahapan seleksi dan ditemukan adanya dugaan/indikasi ketidakpatuhan wajib pajak. Berdasarkan materi angka 4 huruf b 3) a) (6) (c) Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022, Dalam hal ditemukan adanya indikasi ketidakpatuhan dan estimasi potensi kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi, maka dapat dilakukan tindak lanjut berupa:

  1. Permintaan penjelasan atas Data dan/atau keterangan (SP2DK)
  2. Pengusulan pemeriksaan; atau
  3. Pengusulan pemeriksaan bukti permulaan

Pemeriksaan dilakukan bukan hanya karena adanya indikasi ketidakpatuhan wajib pajak saja, namun bisa juga karena adanya konsekuensi dari permintaan wajib pajak seperti: restitusi, penghapusan NPWP, dan lain sebagainya. 

Dalam hal pemeriksa melihat adanya perbedaan data yang dimiliki oleh DJP dengan data pelaporan wajib pajak, maka ditemukan adanya indikasi ketidakpatuhan wajib pajak. Dengan dasar itu pemeriksa dapat meminta data dan atau keterangan dari wajib pajak untuk memastikan kebenaran datanya. Data pelaporan pajak dan keterangan wajib pajak tetap menjadi bukti yang dianggap benar karena adanya asas self assessment, kecuali pemeriksa bisa membantah dengan bukti lain yang lebih kuat. Sehingga beban pembuktian atas hal yang dianggap tidak benar oleh DJP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang dilapor oleh wajib pajak adalah berada pada DJP.

Beban Pembuktian dalam Pemeriksaan Pajak

Hal-hal mengenai beban pembuktian dalam Undang-Undang Perpajakan sekaligus menjawab pertanyaan diatas, dapat dilihat dalam UU KUP pasal 12 ayat (3) yang menyatakan bahwa: "Apabila Direktur Jenderal Pajak (DJP) mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemeberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan pajak yang terutang"

Selain itu juga dalam penjelasan pasal 29 ayat (2) alenia ke-3 UU KUP menyatakan bahwa: "Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Dalam pasal 8 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan disebutkan bahwa: "Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan pemeriksaan, yaitu... c. temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukupdan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Bahwa berdasarkan amanat pasal 92 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013, Direktur Jenderal Pajak mengatur lebih lanjut standar pemeriksaan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013. Dalam pasal 4 huruf c disebutkan bahwa: "Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan pemeriksaan, yaitu... c. temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H dalam bukunya "Asas dan Dasar Perpajakan 2" menyatakan: "Kalau wajib pajak memenuhi kewajibannya, yang dibebankan kepadanya, oleh UU seperti mendaftarkan diri untuk mendapat NPWP, memasukkan SPT pada waktunya, mengadakan pembukuan jika diwajibkan, memperlihatkan pembukuan, memberi penjelasan lebih lanjut tentang Surat Pemberitahuannya, memperlihatkan bukti-bukti yang dijadikan dasar pembukuan dan sebagainya, dan juga memenuhi segala permintaan Direktur Jenderal Pajak, dalam batas-batas kewajaran, dan Kantor Pelayanan Pajak menetapkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang lebih besar daripada pajak yang dihitung sendiri (oleh wajib pajak) berdasarkan self-assessment, dan menyimpang dari data yang diberitahukan dalam SPT, maka Kantor Pelayanan Pajak berkewajiban untuk membuktikan, bahwa data yang dijadikan dasar SKP-nya adalah yang benar dan data yang dimasukkan dalam SPT wajib pajak adalah tidak benar".

Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H., menulis dalam bukunya "Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia" halaman 168, menyatakan bahwa: "Bila seorang wajib pajak dikenakan pajak, dan kemudian ia mengajukan keberatan atau surat minta banding di muka Majelis Pertimbangan Pajak, dalam surat mana ia mengatakan bahwa hutang pajak menurut surat ketetapan adalah terlampau tinggi dan oleh karena itu tidak dapat dibenarkan menurut pendapat wajib pajak, siapakah yang harus membuktikan bahwa ketetapan itu tidak benar? Dalam keadaan demikian sudah barang tentu Inspeksi Keuangan menetapkan jumlah pajaknya menyimpang dari isi surat pemberitahuan pajak (SPT) yang telah dimasukkan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Pada umumnya dianut prinsip bahwa bila inspektur menyimpang dari Surat Pemberitahuan, maka ialah yang wajib membuktikan bahwa surat ketetapan itu benar".

Menurut Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji dalam bukunya "Transfer Pricing: Ide, Stategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional" halaman 550, menyatakan bahwa: "Pembagian beban pembuktian di indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sistem prosedur perpajakan yang dianut di indonesia yaitu self-assessment system. Penerapan pembagian beban pembuktian dalam sistem ini dapat dilihat pada proses penerbitan Surat Ketetapan Pajak, dimana dalam pasal 13 ayat (1) UU KUP dijelaskan bahwa: ... ketentuan pasal 26 ayat (4) UU KUP diatas dapat disimpulkan bahwa beban pembuktian pada wajib pajak hanya terbatas atas pajak yang ditetapkan secara jabatan. Dengan demikian secara argumentum a contrario, beban pembuktian atas surat ketetapan pajak yang diterbitkan tidak secara jabatan berada di pihak otoritas pajak".

To be continue...

...

Inilah 11 Kewajiban Pemeriksa Dalam Melakukan Pemeriksaan Pajak

Pelaksaan pemeriksaan pajak tidak bisa lepas dari suatu standar pemeriksaan dan tata cara pemeriksaan. Karena tanpa standar dan tata cara pemeriksaan pajak akan berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat dan tidak tercipta kepastian hukum. Oleh karenanya wajib pajak perlu memahami hak dan kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan pajak. Selain itu yang tidak kalah penting juga memahami kewenangan dan kewajiban pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan.

Pada seri ini penulis akan menyampaikan 11 kewajiban pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan pajak. Sebagaimana diatur dalam pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 jo pasal 105 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib:

a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan Jenis Pemeriksaan Kantor;

b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;

c. memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;

d. melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:

1) alasan dan tujuan Pemeriksaan;

2) hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;

3) hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan

4) kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;

e. menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;

f. menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;

g. memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;

h. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;

i. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;

j. mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan

k. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.

 

Mengetehui kewajiban pemeriksa ini menjadi penting untuk memastikan jalannya pemeriksaan telah dilakukan sesuai prosedur atau tata cara pemeriksaan. Bahkan Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-16/PJ/2016 untuk menjamin Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dilaksanakan secara objektif. Dalam materi angka 6 dijelaskan bahwa pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:

a. Pemeriksa Pajak harus melakukan perekaman (recording) dengan menggunakan alat bantu perekaman (audio dan/atau visual) pada saat pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;

b. Pemeriksa Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa akan dilakukan perekaman terhadap pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan 

c. Hasil perekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika pemeriksa melanggar prosedur pemeriksaan dengan tidak menjalankan kewajibannya saat melakukan pemeriksaan pajak? Silahkan tuliskan pendapat kalian di kolom komentar.

 

Dasar Hukum:

PMK 17/PMK.03/2013

PMK 18/PMK.03/2021

SE-16/PJ/2016

...

Apakah boleh wajib pajak menolak pemeriksaan pajak?

Dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak, DJP berwenang melakukan pemeriksaan. Hal tersebut dimuat dalam Pasal 29 Undang-Undang KUP. Tidak sedikit wajib pajak yang merasa kebingungan dan sampai bertanya-tanya apakah wajib pajak boleh menolak pemeriksaan pajak karena sangat menguras tenaga dan waktu? Untuk menghilangkan rasa penasaran, bisa kita simak penjelasan berikut ini.

Pada dasarnya penolakan pemeriksaan pajak dapat dilakukan, namun membawa konsekuensi bagi wajib pajak. Dalam pasal 36-38 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 dijelaskan tentang Penolakan Pemeriksaan.

Pasal 36

(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.

(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.

(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tidak ada di tempat maka: 

a. Pemeriksaan tetap dapat dilakukan sepanjang terdapat pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk mewakili Wajib Pajak, terbatas untuk hal yang berada dalam kewenangannya; atau

b. Pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya.

(4) Untuk keperluan pengamanan Pemeriksaan, sebelum dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Pemeriksa Pajak dapat melakukan Penyegelan sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (1).

(5) Apabila setelah dilakukan Penyegelan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak berada di tempat dan/atau tidak memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak meminta kepada pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan.

(6) Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menolak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak meminta pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan.

(7) Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak menolak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.

Pasal 37

(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.

(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.

(3) Apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor disampaikan kepada Wajib Pajak dan surat panggilan tersebut tidak dikembalikan oleh pos atau jasa pengiriman lainnya dan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak membuat berita acara tidak dipenuhinya panggilan Pemeriksaan oleh Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.

Lalu apa konsekuensinya jika wajib pajak menolak dilakukan pemeriksaan pajak? Dalam pasal 38 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021, Pemeriksa pajak (berdasarkan poin-point yang ada di pasal 36 & 37 tersebut diatas) dapat melakukan penetapan pajak secara jabatan atau mengusulkan pemeriksaan bukti permulaan.

Jadi Jika wajib pajak dilakukan pemeriksaan pajak sebaiknya di ikuti saja tanpa harus memberontak. Namun wajib pajak juga perlu tahu tentang tata cara pemeriksaan, pedoman pemeriksaan, dan standar pemeriksaan. Sehingga wajib pajak bisa memahami hak dan kewajiban wajib pajak serta wewenang dan kewajiban pemeriksa. Apabila selama proses pemeriksaan didapati tidak sesuai dengan tata cara pemeriksaan dan standar pemeriksaan, wajib pajak dapat menggugat maupun mengajukan pembatalan Surat Ketetapan Pajak (SKP) hasil pemeriksaan. Semoga tulisan ini bermanfaat.

...

7 tahapan dalam pemeriksaan pajak yang perlu anda ketahui

"Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak". Hal tersebut dimuat dalam pasal 12 Undang-Undang KUP, menggambarkan bahwa dengan diterapkannya sistem self assessment mengharuskan wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melapor pajak secara mandiri dengan tetap menyesuaikan pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Untuk memastikan dan menguji kebenaran Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah dilaporkan oleh wajib pajak, DJP berwenang untuk melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak sebagaimana di atur dalam pasal 29 Undang-Undang KUP. 

Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang KUP, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengelola data, keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pada kesempatan ini saya akan menginformasikan secara singkat 7 tahapan dalam pemeriksaan pajak yang perlu anda ketahui:

1.Penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan (SP2)

Tahap awal ini sebagai tanda bahwa pemeriksaan pajak telah dimulai. Wajib pajak perlu memastikan bahwa pemeriksa telah menyampaiakan SP2 kepada wajib pajak. Selain itu pemeriksa juga wajib memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak kepada wajib pajak pada saat melakukan pemeriksaan.

2. Permintaan Data dan atau Keterangan

Pada tahap kedua ini, pemeriksa akan melakukan pertemuan dengan wajib pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai: alasan dan tujuan pemeriksaan, hak dan kewajiban wajib pajak selama dan setelah pelaksanaan pemeriksaan, hak wajib pajak mengajukan Quality Assurance (QA), kewajiban wajib pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya. Kemudian pemeriksa akan melakukan pengujian/pemeriksaan atas data dan atau keterangan yang diperoleh dari wajib pajak sesuai dengan tata cara, pedoman, dan standar pemeriksaan.

3. Surat Pemeberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)

SPHP merupakan media untuk menginformasikan temuan pemeriksa kepada wajib pajak atas data dan atau keterangan yang telah di olah dari wajib pajak maupun dari pihak ketiga selama jangka waktu pemeriksaan. Dan wajib pajak wajib menerima SPHP. Tanpa SPHP maka Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan dapat dibatalkan.

4. Tanggapan SPHP

Setelah menerima SPHP, wajib pajak dapat membuat tanggapan atas SPHP tersebut secara tertulis dengan menyatakan setuju atau tidak setuju dengan hasil pemeriksaan. Dalam hal ini yang perlu menjadi perhatian adalah memastikan bahwa dasar hukum dalam temuan pemeriksa harus jelas dan dasar hukum tanggapan atas temuan pemeriksa juga harus jelas. Sehingga meminimalisir terjadinya perbedaan pendapat.

5. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP)

Jika tanggapan SPHP sebelumnya dilakukan secara tertulis, maka pada pembahasan akhir hasil pemeriksaan akan dilakukan secara langsung antara wajib pajak dan pemeriksa. Namun yang perlu diketahui bahwa PAHP adalah hak dari wajib pajak. Sehingga pemeriksa wajib untuk mengundang wajib pajak untuk menghadiri PAHP dan wajib pajak berhak hadir atau tidak hadir atas undangan tersebut. Jika terdapat ketidaksetujuan atas hasil pemeriksaan sebaiknya wajib pajak hadir dalam PAHP. 

6. Quality Assurance (QA)

Wajib pajak berhak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil pemeriksaan yang belum disepakati antara pemeriksa pajak dan wajib pajak pada saat PAHP. Tahapan ini bersifat opsi dan hanya terbatas pada sengketa yang bersifat juridis.

7. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Setelah selesai pemeriksaan dengan ditandatanganinya risalah pembahasan, risalah tim QA pemeriksaan, dan berita acara PAHP, maka di buatlan laporan hasil pemeriksaan oleh pemeriksa yang akan digunakan untuk membuat nota perhitungan dan digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan SKP atau STP. SKP merupakan produk hukum atas hasil pemeriksaan pajak yang terdiri dari: SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB.

Untuk penjelasan lebih lanjut dari masing-masing tahapan tersebut diatas, anda dapat mempelajari dalam PMK 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d PMK 18/PMK.03/2021.

Dasar hukum:

  • Undang-Undang KUP
  • PMK 17/2013
  • PMK 18/2021
...

inilah 7 Tugas utama account representative di kantor pelayanan pajak

Mungkin sebagian dari kita masih bertanya-tanya, apa sih tugas account representative (AR) di kantor pelayanan pajak? Karena selama ini wajib pajak sering berhubungan/berkomunikasi langsung maupun tidak langsung (bersurat) dengan AR. Dan berikut ini adalah tugas dari account representative.

Menurut pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.01/2021 Tentang Account Representative Pada Kantor Pelayanan Pajak, Account Representative mempunyai tugas:

  1. melaksanakan analisis, penjabaran, dalam rangka memastikan wajib dan pengelolaan pajak mematuhi peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan melalui perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut intensifikasi dan ekstensifikasi berbasis pendataan serta pemetaan (mapping) subjek dan objek pajak; 
  2. melaksanakan kegiatan penguasaan wilayah, pengamatan potensi pajak, dan penguasaan informasi; 
  3. melaksanakan pencarian, pengumpulan, pengolahan, penelitian, analisis, pemutakhiran, dan tindak lanjut data perpajakan; 
  4. melaksanakan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak; 
  5. menyusun konsep imbauan dan melaksanakan konseling kepada wajib pajak; 
  6. melaksanakan pengawasan dan pemantauan tindak lanjut data dan informasi termasuk namun tidak terbatas pada data surat pemberitahuan, data pihak ketiga, dan data pengampunan pajak; dan 
  7. melaksanakan pengelolaan administrasi penetapan dan menyusun konsep penerbitan produk hukum dan produk pengawasan perpajakan.

Jika kita melihat dari tugas Account Representative sebagaimana diatur dalam pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.01/2021, Account Representative jauh lebih banyak mendapatkan tugas untuk melakukan pengawasan dan menggali potensi wajib pajak, ketimbang melakukan pelayanan dan konseling wajib pajak.

Berdasarkan Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022, Dalam hal ditemukan adanya indikasi ketidakpatuhan dan estimasi potensi kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi, maka dapat dilakukan tindak lanjut berupa:

  1. Permintaan penjelasan atas Data dan/atau keterangan (SP2DK)
  2. Pengusulan pemeriksaan; atau
  3. Pengusulan pemeriksaan bukti permulaan

Apabila selama ini rekan-rekan penasaran kenapa bisa mendapatkan SP2DK maupun pemeriksaan secara tiba-tiba, itu karena adanya indikasi ketidakpatuhan dan adanya potensi kewajiban perpajakan yang belum terpenuhi oleh wajib pajak. Namun harus di pahami bahwa proses untuk menerbitkan SP2DK maupun pemeriksaan tentu tidak tiba-tiba ya, karena semua terdapat prosedur dan tatacaranya. 

 

Dasar Hukum:

  • PerMenKeu Nomor 45/PMK.01/2021
  • Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022
...